Seminar nasional PENGEMBARA 2021 (Minggu, 13 Maret 2022) diselenggarakan Rimpala Fahutan IPB sebagai media diskusi nasional mengenai keanekaragaman hayati. Seminar online ini sekaligus menjadi ajang publikasi hasil penelitian Rimpala mengenai karakteristik habitat dan preferensi sarang tarsius makassar (Tarsius fuscus Fischer 1804) pada Juni-Juli 2021 lalu. Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Anggota Rimpala atau PENGEMBARA rutin dilaksanakan setiap dua tahun sekali dengan mengangkat berbagai topik penelitian di bidang kehutanan dan lingkungan. Kegiatan ini merupakan bentuk peran aktif Rimpala dalam bidang kepecintaalaman dan kehutanan sebagai kelompok mahasiswa pecinta alam di bawah naungan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB.

Dr. Ir. Nareswoeo Nugroho selaku Dekan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB sekaligus Pembina Rimpala memberikan sambutan di awal acara. Selanjutnya, acara inti diisi oleh tiga pembicara luarbiasa yaitu Dr. Abdul Rosyid, M.Si, dosen dan peneliti tarsius, Chaeril, S.Hut, MP, seorang PEH muda Taman Nasional Bantimurung Bulusarung serta Desi Amelia, perwakilan tim lapang PENGEMBARA 2021 yang memaparkan hasil penelitian. Selain itu, turut hadir Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc selaku dosen Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata IPB sebagai penanggap. Peserta webinar berasal dari berbagai daerah di Indonesia, baik itu dari kalangan pecinta alam, pemerhati lingkungan/satwa, mahasiswa kehutanan maupun mahasiswa umum, hingga para dosen dari berbagai universitas.

Tarsius merupakan primata terkecil di dunia yang memiliki berbagai keunikan. “Satwa ini hidup liar di hutan, aktif di malam hari dan berperan sebagai pengendali serangga, santapan favoritnya. Terhitung ada 12 spesies dari total 14 spesies tarsius di dunia yang dapat kita temukan di Sulawesi” jelas Dr. Abdul Rosyid, M.S selaku pembicara pertama. Hal tersebut menunjukkan tingginya keanekaragaman hayati pulau Celebes yang dilewati Garis Wallacea. Beberapa peserta mengungkapkan rasa terima kasih atas wawasan yang dibagikan oleh sang peneliti tarsius Taman Nasional Lore Lindu tersebut. “Saat ini orang mulai tahu, dan ada mereka yang ingin memelihara tarsius karena mungil dan lucu, begitu kan?” ungkap Dosen Universitas Tadulako tersebut, menerangkan ancaman kelangsungan hidup tarsius. Webinar ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang urgensi kelestarian satwa liar.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul) merupakan rumah bagi salah satu spesies tarsius yaitu Tarsius fuscus Fischer 1804. Pembicara kedua, Chaeril, S.Hut, MP menceritakan berbagai upaya konservasi yang telah dilakukan oleh TN Babul. “Monitoring dilakukan secara rutin di delapan site monitoring Tarsius fuscus. Selain itu, terdapat sanctuary (penangkaran eks-situ) tarsius di Patunnuang.” beliau melaporkan. Lebih lanjut beliau juga mengungkapkan bahwa TN Babul secara terbuka menerima apabila ada yang berminat meneliti tarsius maupun habitatnya. “Kami akan sangat terbantu dengan hasil penelitian untuk perumusan strategi konservasi yang lebih baik lagi untuk Balao Cengke atau tarsius, begitu panggilan masyarakat lokal Sulawesi” ungkap sang ahli tarsius TN Babul. Webinar ini juga membuka informasi peluang bagi para akademisi yang ingin berperan aktif melalui kegiatan penelitian.

Desa Samaenre dan Bentenge, Resort Mallawa, TN Babul, Sulawesi Selatan menjadi lokasi penelitian mengenai karakteristik habitat dan preferensi sarang tarsius makassar (Tarsius fuscus Fischer 1804). Tim lapang melakukan pengambilan data yang tidak mudah, menjelajah hutan rimbun dengan cuaca tak menentu. Enam orang anggota tim mencari rumah-rumah tarsius beserta sang satwa, ditemani oleh Pak Pado, pendamping lapang utusan TN Babul. “Hasil penelitian menunjukkan tarsius memilih bersarang di celah batu maupun pohon yang cukup jauh dari jalan dan/atau pemukiman guna menghindari gangguan manusia”, Desi Amelia dengan bangga memaparkan hasil temuan tim PENGEMBARA 2021. Primata yang hanya sebesar telapak tangan manusia ini bersarang pada celah batu atau pohon untuk melindungi diri dari predatornya.

Antusiasme peserta yang begitu tinggi terlihat dari kolom chat yang dibanjiri pertanyaan. Rahmia Nugraha, S.Hut, M.Sc selaku moderator dengan apik memandu sesi diskusi dan tanya jawab sehingga webinar tetap berjalan kondusif. Dr. Ir. Abdul Haris M, M.Sc selaku penganggap turut melengkapi pengetahuan seluruh partisipan webinar. “Menjaga kelangsungan hidup satwa (tarsius) merupakan tanggung jawab seluruh manusia, bukan lembaga konservasi saja. Alam sudah menyediakan tempat hidup dan makanan yang melimpah bagi tarsius. Hal utama yang harus kita usahakan adalah menjaga tempat hidupnya itu tetap lestari.” terang ahli manajemen ekologi satwa liar IPB tersebut. Rimpala selaku penyelenggara kegiatan berharap ilmu dari seminar nasional ini dapat diresapi dan diamalkan oleh seluruh partisipan webinar.

(Ranti Gasela)