Dr.Abdul Haris Mustari Perkenalkan Babirusa Yang Memodifikasi Taring Menjadi “Tanduk”

Sebagai negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar. Dr. Abdul Haris Mustari, dosen Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata (KSHE), Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Hidup, IPB University memperkenalkan salah satu satwa unik, Babyrousa sp.

Babyrousa sp atau lebih dikenal dengan babirusa merupakan hewan endemik Sulawesi, Kepulauan Sula, dan Pulau Buru di Maluku Utara. Babirusa jantan memiliki dua taring besar (panjangnya mencapai 300 mm) menyerupai “tanduk” yang dalam bahasa Inggris disebut “tusk”. Taring ini menusuk kulit moncongnya hingga menjorok ke belakang hingga di depan matanya.

“Pada betina, gigi taring ini lebih pendek atau bahkan tidak tumbuh mencuat seperti pada jantan. Babirusa jantan adalah satu-satunya hewan di dunia yang memilikinya,” katanya.

Ia mengatakan, baik babirusa jantan maupun betina mencapai kematangan seksual pada usia 5 – 10 bulan, namun ada juga laporan pada usia sekitar 548 hari, dengan umur panjang maksimum mencapai usia 23 – 24 tahun.

Seekor induk betina hanya melahirkan satu kali dalam setahun dengan masa kehamilan berkisar antara 155-158 hari.
Jumlah anak babirusa betina setiap kali melahirkan adalah 1-2 ekor dengan berat bayi saat lahir sekitar 0,715 kilogram. lama waktu anak disusui oleh ibunya adalah sekitar 1 bulan, namun ada laporan bahwa lama waktu anak dengan ibu sampai 213 hari dan setelah itu anak disapih untuk mencari makan sendiri di hutan,” jelasnya.

Dikatakannya, babirusa hidup berkelompok atau berkelompok karena biasanya babirusa hidup berkelompok kecil dengan pemimpin perempuan (kelompok matriarkal). “Kelompok babirusa memiliki ikatan yang kuat sehingga dapat mempertahankan diri dari pemangsa. Sebaliknya, babirusa jantan dewasa biasanya hidup menyendiri dan bergabung dengan betina dewasa pada saat musim kawin,” ujarnya.

“Pengamat dapat mengenali babirusa dari suara yang mereka buat karena ketika berjalan berkelompok, babirusa sering mengeluarkan suara yang teratur dan timbal balik, kecil dan panjang, yaitu suirii….. soooooooooooo,” jelasnya.

Menurutnya, kesempatan terbaik untuk bertemu babirusa adalah dengan mengamati sumber air minum atau kubangan yang biasa dikunjungi babirusa pada musim panas. Kebiasaan berkubang ini, kata dia, dimaksudkan untuk mendapatkan mineral atau hewan kecil (larva, cacing atau ulat) sebagai sumber protein hewani.

“Babirusa sering menggosokkan tubuhnya ke pangkal batang pohon setelah berkubang. Hal ini mungkin dilakukan untuk mengurangi kekentalan lumpur di tubuh atau untuk menghilangkan kutu yang dianggap mengganggu,” imbuhnya.

Ia mengatakan, ada empat spesies babirusa yang ditemukan di Indonesia, tiga di antaranya masih hidup hingga saat ini dan satu spesies telah punah.

Yang pertama adalah Babirusa Sulawesi atau Babyrousa celebensis yang bertubuh pendek dan memiliki rambut yang jarang sehingga terlihat telanjang dari kejauhan.

Kedua, babirusa berbulu atau Babyrousa babyrussa ditandai dengan rambut tubuh yang panjang dan tebal, ekor yang berkembang dengan baik, gigi taring atas pada jantan biasanya pendek, gigi taring atas umumnya berbeda atau sejajar satu sama lain, dan ukuran tubuh dan giginya kecil.

Ketiga, Babirusa Togean atau Babyrousa togeanensis. Babirusa Togean memiliki rambut di tubuh yang pendek dan jarang dibandingkan, ekornya berkembang dengan baik, gigi taring atas pada jantan biasanya pendek, ramping, subspesies ini berukuran paling besar, tetapi giginya kecil.

Keempat, Babirusa Bolabatu atau Babyrousa bolabatuensis. Jenis babirusa ini sudah punah, hanya ditemukan dalam bentuk fosil di semenanjung selatan Sulawesi. (SWP/ZUl) (IAAS/SYA)