Fakultas Kehutanan dan Lingkungan

0251- 8621677

fahutan@apps.ipb.ac.id

Jalan Ulin, Kampus IPB Dramaga Bogor Jawa Barat 16680
13 Dec 2021

Dr Bramasto Nugroho Sebut Penguatan Kelembagaan Sangat Penting Untuk Penetapan Standar Perlindungan Konsumen

Prof Bramasto Nugroho, Guru Besar IPB University dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (Fahutan) mengatakan penguatan kelembagaan cukup menantang. Apalagi dengan hadirnya Pusat Sertifikasi Industri yang merupakan lembaga dalam melakukan sertifikasi mutu benih.

Hal tersebut ia sampaikan dalam Webinar “Pengembangan dan Pemanfaatan Standardisasi Bibit dan Pembibitan Tanaman Hutan untuk Mendukung Pembangunan Hutan Lestari”. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Standardisasi Perangkat Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dan Puslitbang Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, (09/12).

Dalam kegiatan ini beliau memaparkan tentang investasi dalam pertumbuhan pohon, baik untuk produksi, konservasi, rehabilitasi maupun untuk kepentingan lingkungan. Menurutnya, butuh waktu lama untuk menghasilkan manfaat sebagaimana dimaksud. Investasi awal ditentukan oleh kualitas benih dan benih yang berkualitas.

“Akan sangat tepat jika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memprakarsai atau berperan dalam mengembangkan standar tersebut. Intinya adalah untuk melindungi konsumen. Konsumen ini bisa publik, pemerintah, swasta atau swasta dan petani untuk melindungi investasi mereka,” katanya.

Menurutnya, hingga saat ini SNI (Standar Nasional Indonesia) masih menjadi acuan dalam memproduksi benih hingga benih tanaman hutan. Yang masih menjadi masalah adalah implementasinya yang tidak seragam. Pengaturan standar di dalamnya dan penguatan kelembagaan yang diperlukan masih akan dibahas.
Ia mengatakan, setidaknya ada lima tahapan dalam penguatan kelembagaan. Ini termasuk analisis dan diagnosis kerangka kelembagaan yang diteliti, analisis dan diagnosis organisasi di lembaga yang dipelajari, desain perubahan atau perbaikan kelembagaan dan organisasi, implementasi dan pemantauan dan evaluasi.

Menurutnya, perlu juga mendiagnosa efektivitas kebijakan untuk beberapa standar. Dalam prosesnya ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi. Yaitu bagaimana standar dikomunikasikan secara konsisten kepada pengguna. Efektivitas ini juga ditentukan oleh sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. Dia menilai Standard Operating Procedure (SOP) masih menjadi tekanan bagi organisasi.

Ia menambahkan, para pengambil kebijakan juga harus memahami prinsip-prinsip penguatan kelembagaan. Artinya, mereka harus fokus pada hasil dan harus memahami pentingnya standardisasi untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas. Kuncinya adalah pada arah perbaikan dan penguatan untuk memastikan keberhasilan penerapan standar
“Memang dalam memperkuat lembaga ini perlu melibatkan pemangku kepentingan. Selain itu, data dan informasi yang akurat dan berkualitas harus tersedia untuk mencegah perbedaan hasil. Dan membangun institusi ‘baru’ yang bisa diprediksi sehingga pengguna mau mengacu pada standar yang berlaku,” ujarnya.(MW/Zul)

13 Dec 2021

Mahasiswa IPB University Raih Juara 1 dan Juara 3 Lomba Karya Tulis Ilmiah Populer

Mahasiswa IPB University Raih Juara 1 dan Juara 3 Lomba Karya Tulis Ilmiah Populer Mahasiswa Kehutanan 2021

Kali ini dari Lomba Karya Tulis Ilmiah Populer Mahasiswa Kehutanan 2021 yang bertemakan Multibisnis Kehutanan: Mewujudkan Kebangkitan Sektor Kehutanan yang Kompetitif dan Berkelanjutan. Dari kompetisi ini, ada dua tim mahasiswa IPB University dari Jurusan Pengelolaan Hutan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Hidup yang mempersembahkan juara 1 dan 3.

Prasetya Irawan, Risti Aji Wahyuningtyas dan Ahmad Armansyah di bawah bimbingan Fitta Setiajati, SHut, MSi meraih Juara 1 dengan karyanya yang berjudul The Modern Forestry Multi-Business Model dengan Konsep Innovative Start Up Company. Mereka mengangkat topik ini setelah melihat proses bisnis di sektor kehutanan masih menggunakan cara lama. Oleh karena itu, diperlukan suatu struktur pemikiran dan cara-cara perusahaan agar lebih adaptif dengan perkembangan zaman.
“Oleh karena itu, kami mengusung konsep start-up karena model perusahaan start-up inovatif identik dengan inovasi, kekinian, mengikuti perkembangan zaman dan memiliki model bisnis yang berbeda. Intinya pembangunan outdoor gym di hutan, jogging track , hotel dan rumah sakit di hutan, pernikahan hutan, affiliate marketing, solusi jastip, outbond, pelatihan kepemimpinan, kemitraan UMKM, pemberdayaan masyarakat, dan lain-lain,” kata Prasetya.

Mahasiswa IPB University ke-56 ini juga memandang perusahaan kehutanan memiliki lahan yang luas, sehingga harus dioptimalkan dengan strategi dan inovasi yang out of the box.
“Sehingga dapat meningkatkan pendapatan perusahaan dalam jangka pendek dan jangka panjang. Menggunakan konsep bisnis yang lebih modern, ramah anak muda, seperti perusahaan rintisan,” imbuhnya.

Menurutnya, penghargaan ini sangat berkesan bagi kedua tim mahasiswa dan menambah semangat untuk terus mengembangkan ide-ide kreatif dan inovatif.
“Semoga ide dan gagasan yang kami bentuk dapat bermanfaat dan berkontribusi bagi pembangunan negara di masa mendatang,” kata Prasetya.

Juara 3 diraih oleh tim yang terdiri dari Nadia Salsabila Candra Kerti, Manisyah, dan Feni Amyar Aningtiyas. Mereka mengusung judul Agrosilvofarmaka dan Penerapan Sistem Pemasaran Digital untuk Menarik Investor.
Menurut Nadia, topik ini dilatarbelakangi oleh pengawasan Izin Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang hanya dilakukan oleh pemerintah pusat. Sehingga pengelolaan lahan kurang transparan kepada masyarakat.

“Melalui PBPH, setiap perusahaan hanya diperbolehkan memiliki satu izin untuk mengelola lahan seluas 50.000 hektar di luar Papua dan 100.000 hektar di Papua. Sehingga pengusaha perlu berinovasi untuk memaksimalkan pemanfaatan lahan. Masalah lainnya adalah belum adanya jaminan pasar bagi pelaku multi usaha kehutanan, sehingga diperlukan sistem pemasaran dengan jangkauan yang lebih luas,” jelas Nadia.

Nadia dan kawan-kawan menawarkan konsep agrosilvofarmasi dengan sistem pemasaran digital. Agrosilvofarmaka adalah sistem agroforestri yang memadukan komponen kayu, tanaman pangan dan tanaman obat sebagai tanaman sela pada sebidang tanah yang dilakukan secara bersamaan atau bergiliran untuk memperoleh manfaat ekonomi dan lingkungan.

“Praktik ini kemudian dibarengi dengan sistem digital marketing. Yakni dengan menerapkan Market Information System (MIS) yang dipadukan dengan skema e-commerce untuk menjangkau pasar yang lebih luas. SIM ini memudahkan petani atau pengelola agrosilvofarmasi untuk berinteraksi langsung dan bertransaksi dengan konsumen secara real-time. Sistem yang transparan dan akses yang mudah dapat membuka peluang bagi investor untuk datang,” ujarnya.

Kompetisi ini merupakan bagian dari Musyawarah Nasional Gabungan Pengusaha Hutan Indonesia Tahun 2021 dengan tema Mewujudkan Ekosistem Usaha Kehutanan Baru yang Kompetitif dan Berkelanjutan setelah UU Cipta Kerja 2021. (Isni/Zul) (IAAS/SYA)

30 Nov 2021

Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University Hadirkan Peneliti, Bahas Sawit sebagai Tanaman Hutan

Fakultas Kehutanan dan Lingkungan (Fahutan) IPB University bekerjasama dengan Pusat Kajian Advokasi dan Konservasi Alam mengundang para peneliti untuk mengkaji naskah akademis sawit sebagai tanaman hutan. Kegiatan ini dikemas dalam seminar nasional dengan tema “Permasalahan, Prospek dan Implikasi Kelapa Sawit Sebagai Tanaman Kehutanan,” 25/11. 

Fakultas Kehutanan dan Lingkungan (Fahutan) IPB University bekerjasama dengan Pusat Kajian Advokasi dan Konservasi Alam mengundang para peneliti untuk mengkaji naskah akademis sawit sebagai tanaman hutan. Kegiatan ini dikemas dalam seminar nasional dengan tema “Permasalahan, Prospek dan Implikasi Kelapa Sawit Sebagai Tanaman Kehutanan,” 25/11.  sawit sangat nyata. Dengan demikian, sangat wajar apabila pemerintah menempatkan sawit sebagai industri strategis, akan tetapi nasib kelapa sawit diperlakukan secara tidak proporsional. “Kebijakan saat ini bersikap diskriminatif terhadap kelapa sawit tidak saja dalam lingkup nasional juga terjadi dalam lingkup internasional,” terang Prof Yanto Santosa, Kepala Pusat Kajian Advokasi dan Konservasi Alam. Dosen IPB University itu menjelaskan, FAO tidak memasukkan sawit sebagai tanaman hutan. Tidak hanya itu, perkebunan kelapa sawit juga sering dituduh sebagai penyebab deforestasi dan penyebab kerusakan lingkungan.  Alam telah menyusun naskah akademik yang menyebutkan sawit sebagai tanaman hutan,” tambah Prof Yanto.

Prof Yanto juga menjelaskan, seminar nasional ini merupakan bagian penting dari proses penyusunan naskah akademik kelapa sawit sebagai tanaman hutan. Oleh karena itu, tidak kurang dari 20 peneliti, diundang dalam upaya membahas terkait sawit sebagai tanaman hutan. Produksi yang terdegradasi bukan untuk menggantikan hutan alam, kami sangat menentang pembongkaran hutan alam menjadi kebun kelapa sawit,” ucapnya lagi. Dalam kesempatan ini, Dr Musdalifah Machmud, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Kementerian Koordinator bidang Perekonomian RI turut manyambut baik upaya yang dilakukan oleh Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University.  “Kita perlu membuktikan bagaimana karakteristik tanaman kehutanan, apakah tanaman sawit bisa terkategori tanaman hutan. Jika dilihat tanaman hutan memiliki tinggi 3 meter, tanaman kelapa sawit bisa lebih dari 5 meter. Apabila jenis palm lain terkategori tanaman hutan, lalu kenapa kelapa sawit bukan tanaman hutan?” tambahnya. 

Ia pun berharap, perguruan tinggi dapat duduk bersama dengan pemerintah pusat, pemerintah kabupaten maupun komunitas dalam menjawab tantangan industri kelapa sawit. Dengan demikian, katanya, dapat menghasilkan penelitian berbasis sains serta rekomendasi yang valid untuk pimpinan tertinggi serta membangun opini landasan saintifik terkait perkebunan kelapa sawit Indonesia.

Sementara itu, Dekan Fahutan IPB University, Dr Naresworo Nugroho menyampaikan permasalahan prospek dan implikasi sawit dan tanaman hutan. Ia menerangkan, bahwa tanaman hutan sebaiknya diartikan sebagai tumbuhan hutan yang didomestikasi dengan ciri siklus waktu hidup yang lama yang ditandai dengan karakteristik fisiognomi yang memenuhi definisi hutan. mengisi pada unit pengelolaan yang tepat serta pada kawasan yang penting dan lanskap yang tepat,” tambah Dr Naresworo.

Ia juga menegaskan, perkebunanan dan kehutanan keduanya dapat menyejahterakan rakyat dan berkontribusi dalam pembangunan negara. Menurutnya, syarat kualitas hutan dan daya dukung dalam menjaga lingkungan menjadi suatu keniscayaan. (*)

24 Nov 2021

Teknologi Pembiakan Vegetatif Tanaman Hias

Program Rumah Vegetatif Tanaman Hias (RUVETAS) Guna Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Di Desa Sipungguk , Kabupaten Kampar, Riau.

BUKU-RUVETAS-

Buku “TEKNOLOGI PEMBIAKAN VEGETATIF TANAMAN HIAS: Program Rumah Vegetatif Tanaman Hias (RUVETAS) Guna Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat di Desa Sipungguk, Kabupaten Kampar, Riau” merupakan salah satu luaran dari kegiatan. Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat (PKM-PM) yang didanai olehKementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 2021. Penulis berharap buku ini dapatdigunakan sebagai media pembelajaran terkait teknik pembiakan vegetatif tanaman hias yang dapat diikuti oleh pembaca, serta memberikan pengetahuan baru tentang bisnis tanaman hias, sehingga pembaca dapat termotivasi untuk memulai bisnis secara mandiri. Semoga buku ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan dan bagi kemajuan
ilmu pengetahuan.

09 Nov 2021

FAKULTAS KEHUTANAN DAN LINGKUNGAN IPB SUKSES MENYELENGGARAKAN THE 2ND INTERNATIONAL SUMMER COURSE ON FORESTRY AND ENVIRONMENT

Tropical Forest Ecosystem Management and Innovations (ForSC2021)”

International Summer Course on Forestry and Environment ini merupakan acara rutin yang diselenggarakan oleh Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University setiap tahunnya. Pada penutupan acara, Dr Adisti Permatasari Putri Hartoyo selaku Chairperson The 2nd International Summer Course on Forestry and Environment “Tropical Forest Ecosystem Management and Innovations (ForSC2021)” menyampaikan bahwa tahun ini kegiatan ForSC2021 menggandeng organisasi kemahasiswaan IFSA-LC IPB dan berkolaborasi dengan kegiatan The 3rd International Conference on Tropical Silviculture (ICTS2021). Kegiatan ini telah berlangsung sejak tanggal 21-29 Agustus 2021 dengan dihadiri oleh sekitar 117 peserta dari 11 negara dan 18 narasumber dari berbagai perguruan tinggi di dunia, praktisi, juga pihak swasta. ForSC2021 diharapkan mampu menjawab tantangan dalam pengelolaan ekosistem hutan tropis dengan mendorong generasi muda dalam mengemukakan ide-ide inovatif serta solutif.

Hal tersebut juga diaminkan oleh Dr. Noor F. Haneda selaku Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemaahsiswaan. Beliau berharap melalui acara ini menjadi awal yang bagus dan para generasi muda bisa berkolaborasi antar negara serta terbangun jejaring yang lebih luas untuk pengelolaan ekosistem hutan tropis yang lestari.

Kegiatan Summer Course ini ditutup dengan suguhan wisata virtual yang cantik dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang dipresentasikan oleh Bapak Dadang Suryana, S.Hut, M.Sc selaku Kepala Bidang PTN Wilayah III, Balai Besar TNGGP.

Sebagai rangkaian acara penutupan diumumkan para pemenang kegiatan Youth Initiative Contest. Pemenang The Most Outstanding Student berhasil diraih oleh Alfa Jan Seran dari Universitas Nusa Cendana, Kupang. Pemenang kompetisi poster diraih oleh Grup 18 dengan judul “ForestUs.id: IoT-based Mobile Application to Optimize Sustainable Tropical forest Management in Indonesia”, dan pemenang kompetisi artikel ilmiah diraih oleh James Loyd B. Acosta dari Iloilo Science and Technology University dengan judul “Juvenils:The warriors of tomorrow land”.

Para peserta juga menyampaikan testimoninya dalam bentuk video singkat. Mereka sangat senang bergabung acara ForSC2021 karena menambah pengetahuan, keterampilan, ide kreatif dan berharap bisa bergabung kembali pada acara Summer Course tahun depan

Resource person: Dr. Adisti P.P Hartoyo

22 Oct 2021

Dosen IPB Meneliti Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Budaya Melalui Pengembangan Wisata di Taman Nasional Kepulauan Seribu

Selama satu tahun ke depan, Dr. Eva Rachmawati dan Dr. Syafitiri Hidayati, dua dosen Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, bersama dengan 2 asisten dan 3 mahasiswa akan melaksanakan penelitian yang bertajuk “Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Budaya dalam Konteks Pariwisata” di Pulau Harapan dan Pulau Kelapa Dua, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Penelitian yang didanai oleh Kementerian Riset dan Teknologi – BRIN ini akan bermitra dengan Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu (BTNKpS) selaku pengelola dari pulau-pulau kecil yang masuk ke dalam wilayah kawasan konservasi Taman Nasional Kepulauan Seribu.

Penelitian ini diharapkan dapat mendorong wisata berkelanjutan di kawasan konservasi tersebut. Mewakili Kepala SPTN II Pulau Harapan BTNKpS, Domingos Da Costa menyambut baik kunjungan tim peneliti IPB di Pulau Harapan dan Pulau Kelapa Dua pada 27 Mei 2021 lalu. Domingos menyampaikan kesiapan balai untuk mendukung pelaksanaan penelitian. Ditemui saat melakukan kunjungan tersebut, Dr. Eva menyampaikan bahwa penggalian budaya masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia masih minim dilakukan, padahal kearifan lokal yang telah berkembang di sana merupakan modal sosial bagi masyarakat untuk menghadapi tantangan zaman. Selain itu, peneliti bidang sosial wisata ini menambahkan bahwa dengan mengetahui potensi kekayaan budaya yang dimiliki oleh masyarakat para pemangku kepentingan terkait dapat mengembangkan berbagai atraksi wisata sekaligus meningkatkan kapasitas masyarakat dengan tetap mengakar pada budaya setempat. Kesiapan kapasitas masyarakat untuk terlibat aktif dalam proses pengembangan wisata di wilayahnya tentunya akan mendukung pembangunan wisata berkelanjutan dari mana diharapkan masyarakat dapat merasakan dampak positif wisata dari aspek sosial, ekonomi, psikologis, politik, dan lingkungan.

Pulau Harapan adalah pulau yang memiliki potensi wisata yang sangat tinggi dengan jumlah wisatawan mencapai 800 hingga 1000 orang per hari. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Junaedi, Ketua Kelompok Kerja Sadar Wisata (Pokdarwis), para wisatawan biasanya berkunjung ke Pulau Harapan sebagai bagian dari wisata ke pulau-pulau kecil lainnya di Kepulauan Seribu untuk melakukan beragam aktivitas wisata seperti snorkling, diving, camping dan menikmati panorama alam khas Kepulauan Seribu. Meski demikian, aktivitas wisata berbasis budaya terlihat masih belum diberdayakan, sehingga penelitian ini menjadi sangat diharapkan.

“Kearifan lokal masyarakat yang meliputi ide, pemikiran, karya, peralatan, maupun konsep dalam pengelolaan keanekaragaman hayati, lingkungan alam, serta lingkungan budayanya memiliki peran penting dalam mendukung kelestarian kawasan konservasi,” tutur Dr. Syafitri yang merupakan seorang dosen muda peneliti etnobiologi.

Masyarakat yang mendiami Pulau Harapan dan Pulau Kelapa Dua dinilai memiliki sejarah budaya yang sangat unik. Pencampuran budaya suku Betawi, Jawa, dan Mandar di Pulau Harapan membentuk budaya baru yang disebut dengan “Orang Pulo”, suatu budaya yang berbeda dari suku-suku asalnya. Sementara itu, upacara adat ‘syukuran laut’ yang masih dilakukan secara rutin setiap tahun di Pulau Kelapa Dua menjadi indikator eksistensi budaya Bugis di pulau ini. Budaya tersebut dapat menjadi modal sosial yang berpotensi diberdayakan untuk pengembangan pariwisata di Kepulauan Seribu. Namun, menurut Wira Saut Perianto Simanjuntak, S.P., Kepala Resort SPTN I Pulau Kelapa, terdapat indikasi terkikisnya budaya masyarakat Bugis yang mendiami Pulau Kelapa Dua.

Melihat kondisi dan potensi yang dimiliki oleh kedua pulau tersebut, Dr. Eva menyampaikan bahwa revitalisasi budaya melalui pengembangan budaya sebagai alternatif Objek dan Daya Tarik Wisata (ODTWA) dan penguatan kelembagaan serta partisipasi masyarakat dalam wisata menjadi penting untuk dilakukan.

“Melalui penelitian dan pelibatan para pemangku kepentingan, hasil dari penelitian ini dapat diimplementasikan untuk mewujudkan wisata berkelanjutan di Kepulauan Seribu”, pungkasnya.(SHY/@W)

Penulis : Dr. Syafitri Hidayati

21 Oct 2021

Prof. Harini Muntasib: Branding Lake Toba as Traces of the World’s Largest Volcanic Eruption Must Be a Pride

Prof. Harini Muntasib, an ecotourism expert from IPB University, spoke about optimizing the Lake Toba tourism sector through the development of environmentally friendly tourism. He explained, the branding of Lake Toba as a lake with the most active volcano in the world needs to be sharpened.

The IPB University lecturer said that in the interpretation of Toba’s nature through films to visitors, it is also necessary to add biological, geological, and socio-cultural objects. According to him, the traces of the Toba eruption as an extraordinary natural museum need to be highlighted. He gave examples, for example, traces of pyroclassical deposits and hot springs. On the other hand, there are lava deposits and lake-forming diatomaceous deposits which are often ignored as geological objects.

Not only that, various types of spice and medicinal plants around Lake Toba as forest products can also be an attraction. Lake Toba also has various types of endemic fish that are interesting to explore.

“There is an interaction between nature and society, thus forming a very distinctive culture, where the people around Toba form adaptations, myths, and history. These are all materials for themes in the context of actual interpretation. “Nature speaks to visitors, speaks to the community,” said Prof. Harini Muntasib at the International Conference on Heritage of Toba: Natural and Cultural Diversity organized by the Ministry of Tourism and Creative Economy together with Kompas, online, (13/10).

The IPB University lecturer from the Faculty of Forestry and Environment also said that tourist maps or interpretation plans can be prepared in the context of development. From this data, an information center can also be built for tourist visitors.

He also suggested that a film be made based on a scenario based on the interpretation of the occurrence of Lake Toba and Lake Samosir as tourist attractions. The film can show the conditions during the Toba volcanic eruption. Starting from before the eruption. According to him, this effort can attract the attention of many eyes from around the world.

“Lake Toba is a trace of the largest eruption in the world. This should be a great pride for us who need to be appointed for branding purposes” he added.

Not only that, Prof. Harini also suggested that people build a sense of pride in Lake Toba. The reason is that, from 10 regencies around Lake Toba and Samosir Island, it is hoped that they will have the same perception of Toba.

Prof. Harini also suggested that the collaborative management mechanism for Toba tourism could involve the government and non-government. But still in the same perception, especially in resource conservation. Not only that, in this collaboration, the rights of indigenous peoples from the social and cultural aspects are also prioritized so that they become one of Toba’s tourist attractions. (MW) (IAAS/FJN)

04 Oct 2021

Tanggapi Isu Lahan Gambut, SEAMEO BIOTROP, IPB University dan UIN As-Syafi’iyah Gelar Webinar Regional

Bogor,– SEAMEO BIOTROP bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor dan Universitas Islam As-Syafi’iyah menyelenggarakan Webinar Regional bertajuk “Apa Wajah Ekosistem Gambut di Masa Depan?” secara virtual, pada 17 September 2021.

Webinar ini bertujuan untuk menyebarluaskan informasi ilmiah, metode dan strategi terbaru untuk pengelolaan lahan gambut berkelanjutan, potensi pemanfaatan lahan basah secara berkelanjutan dan menghasilkan kajian tentang inovasi dan teknologi dalam optimasi lahan basah. Webinar menampilkan dua pembicara, yaitu:

1. Ir. I.N.N Suryadiputra (Asosiasi Ahli BIOTROP, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove, dan Penasihat Senior YLBA)

2. Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M., Fakultas Kehutanan dan Staf Ahli Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM)

Zulhamsyah Imran, Direktur SEAMEO BIOTROP sekaligus Keynote Speaker dalam kegiatan ini mengatakan bahwa ekosistem lahan gambut menghadapi tantangan yang sangat berat baik dalam penentuan faktor alam maupun antropogenik. Ditambahkannya, deforestasi dan alih fungsi menjadi berbagai kegiatan untuk kepentingan kesejahteraan manusia semakin meningkat tanpa memperhatikan bagaimana cara menyelamatkan ekosistem lahan gambut dan keanekaragaman hayatinya. “Terkadang kita menyalahkan bahwa peningkatan suhu global di Atmosfer Bumi yang kita sebut sebagai pemanasan global selalu menyalahkan faktor pengaruh perusakan ekosistem gambut. Saat ini, kita telah mengetahui bahwa Pemerintah Indonesia telah mengembangkan food estate di beberapa daerah di Indonesia, Pulau Sumatera-Kalimantan-Papua. Kita perlu berpartisipasi dalam kesempatan ini untuk menghindari semakin meningkatnya kerusakan ekosistem alam gambut”, ujarnya.

Dimoderatori oleh Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS, Dekan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Hidup IPB, webinar ini diikuti oleh 196 individu dari Indonesia, Filipina, Kamboja, Brunei, dan Malaysia. Webinar ini disiarkan secara langsung melalui https://youtu.be/jQUsjLi_OQA. (rf)

04 Oct 2021

Penandatanganan Naskah Kerjasama Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB dan SEAMEO BIOTROP

BOGOR,– Demi mengimplementasikan kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University menjalin kerjasama dengan the Southeast Asian Ministers of Education Organization, The Regional Centre for Tropical Biology (SEAMEO BIOTROP) (22/09). Pendatanganan naskah kerjasama tersebut ditujukan untuk meningkatkan kapasitas mahasiswa dan sumberdaya manusia secara umum.

Direktur SEAMEO BIOTROP, Dr. Zulhamsyah Imran mengatakan bahwa kerjasama erat secara spesifik bersinggungan dengan topik silvikultur dan reklamasi tambang. Kerjasama tersebut dijalin untuk mengembangkan pemanfaatan hutan dalam dunia usaha.

15 Sep 2021

Dr.Abdul Haris Mustari Perkenalkan Babirusa Yang Memodifikasi Taring Menjadi “Tanduk”

Sebagai negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar. Dr. Abdul Haris Mustari, dosen Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata (KSHE), Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Hidup, IPB University memperkenalkan salah satu satwa unik, Babyrousa sp.

Babyrousa sp atau lebih dikenal dengan babirusa merupakan hewan endemik Sulawesi, Kepulauan Sula, dan Pulau Buru di Maluku Utara. Babirusa jantan memiliki dua taring besar (panjangnya mencapai 300 mm) menyerupai “tanduk” yang dalam bahasa Inggris disebut “tusk”. Taring ini menusuk kulit moncongnya hingga menjorok ke belakang hingga di depan matanya.

“Pada betina, gigi taring ini lebih pendek atau bahkan tidak tumbuh mencuat seperti pada jantan. Babirusa jantan adalah satu-satunya hewan di dunia yang memilikinya,” katanya.

Ia mengatakan, baik babirusa jantan maupun betina mencapai kematangan seksual pada usia 5 – 10 bulan, namun ada juga laporan pada usia sekitar 548 hari, dengan umur panjang maksimum mencapai usia 23 – 24 tahun.

Seekor induk betina hanya melahirkan satu kali dalam setahun dengan masa kehamilan berkisar antara 155-158 hari.
Jumlah anak babirusa betina setiap kali melahirkan adalah 1-2 ekor dengan berat bayi saat lahir sekitar 0,715 kilogram. lama waktu anak disusui oleh ibunya adalah sekitar 1 bulan, namun ada laporan bahwa lama waktu anak dengan ibu sampai 213 hari dan setelah itu anak disapih untuk mencari makan sendiri di hutan,” jelasnya.

Dikatakannya, babirusa hidup berkelompok atau berkelompok karena biasanya babirusa hidup berkelompok kecil dengan pemimpin perempuan (kelompok matriarkal). “Kelompok babirusa memiliki ikatan yang kuat sehingga dapat mempertahankan diri dari pemangsa. Sebaliknya, babirusa jantan dewasa biasanya hidup menyendiri dan bergabung dengan betina dewasa pada saat musim kawin,” ujarnya.

“Pengamat dapat mengenali babirusa dari suara yang mereka buat karena ketika berjalan berkelompok, babirusa sering mengeluarkan suara yang teratur dan timbal balik, kecil dan panjang, yaitu suirii….. soooooooooooo,” jelasnya.

Menurutnya, kesempatan terbaik untuk bertemu babirusa adalah dengan mengamati sumber air minum atau kubangan yang biasa dikunjungi babirusa pada musim panas. Kebiasaan berkubang ini, kata dia, dimaksudkan untuk mendapatkan mineral atau hewan kecil (larva, cacing atau ulat) sebagai sumber protein hewani.

“Babirusa sering menggosokkan tubuhnya ke pangkal batang pohon setelah berkubang. Hal ini mungkin dilakukan untuk mengurangi kekentalan lumpur di tubuh atau untuk menghilangkan kutu yang dianggap mengganggu,” imbuhnya.

Ia mengatakan, ada empat spesies babirusa yang ditemukan di Indonesia, tiga di antaranya masih hidup hingga saat ini dan satu spesies telah punah.

Yang pertama adalah Babirusa Sulawesi atau Babyrousa celebensis yang bertubuh pendek dan memiliki rambut yang jarang sehingga terlihat telanjang dari kejauhan.

Kedua, babirusa berbulu atau Babyrousa babyrussa ditandai dengan rambut tubuh yang panjang dan tebal, ekor yang berkembang dengan baik, gigi taring atas pada jantan biasanya pendek, gigi taring atas umumnya berbeda atau sejajar satu sama lain, dan ukuran tubuh dan giginya kecil.

Ketiga, Babirusa Togean atau Babyrousa togeanensis. Babirusa Togean memiliki rambut di tubuh yang pendek dan jarang dibandingkan, ekornya berkembang dengan baik, gigi taring atas pada jantan biasanya pendek, ramping, subspesies ini berukuran paling besar, tetapi giginya kecil.

Keempat, Babirusa Bolabatu atau Babyrousa bolabatuensis. Jenis babirusa ini sudah punah, hanya ditemukan dalam bentuk fosil di semenanjung selatan Sulawesi. (SWP/ZUl) (IAAS/SYA)