Fakultas Kehutanan dan Lingkungan

0251- 8621677

fahutan@apps.ipb.ac.id

Jalan Ulin, Kampus IPB Dramaga Bogor Jawa Barat 16680
12 Apr 2023

ICRTH2023 REGISTRATION IS OPEN!


ICRTH2023 REGISTRATION IS OPEN!
Official website: https://www.responsibleborneo.com/icrth2023

You are cordially invited to join the 3rd International Conference on Responsible Tourism and Hospitality (ICRTH) 2023 which will be held in Bogor, Indonesia on 21-25 August 2023.
ICRTH2023 is a professional conference that brings together tourism stakeholders, including the governments, practitioners, academics, researchers, associations, communities and students, to realise the advancement of responsible tourism in Southeast Asia and beyond. Conference programs include keynote speeches, research workshops, industrial seminars, academic presentation with publication opportunities, tree planting legacy, networking dinner, fieldwork (optional) and many more. It serves as an avenue for more discourse and networking to sustain tourism for the people, planet and future generation.

Responsible tourism is a social movement and it involves every person and organisation, not just those in the tourism and hospitality fields/sectors. All are welcome to be part of another significant milestone.

Information and registration details about ICRTH2023 are available at https://www.responsibleborneo.com/icrth2023

ICRTH2023 is co-organised by IPB University and Sarawak Research Society (with Responsible Borneo). It is supported by the Ministry of Tourism and Creative Economy Indonesia, Ministry of Tourism, Creative Industry and Performing Arts Sarawak and Bogor Mayor Office. It will also be participated by UNWTO, Emerald Publishing and other international bodies.

Should you have any queries, please write to the Secretariat at icrth.admin@responsibleborneo.com.
You can also visit our FB pages at Sarawak Research Society and Responsible Borneo for updates.

ResponsibleBorneo #responsibletourism #icrth2023 #EmeraldPublishing #UNWTO #sarawak #PSKVT #IPBUniversity
03 Apr 2023

Prof Hariadi Kartodihardjo: Integrasi Pengelolaan Hutan Harus Berbasis Empirical Evidence, Baru Kebijakan, Bukan Sebaliknya


Hutan menjadi harapan Indonesia untuk menjaga stabilitas fungsi lingkungan hidup dan pengendali krisis iklim. Lebih dari 120 juta hektar hutan dijadikan sumber stok karbon utama.

Prof Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB University menjelaskan, pengelolaan hutan memerlukan integrasi dengan ilmu lintas disiplin. Upaya konservasi dan rehabilitasi hutan tidak akan mampu berjalan bila hanya mengandalkan penanaman pohon saja. Menurutnya, kebijakan terkait integrasi pengelolaan hutan harus melalui bukti empiris atau empirical evidence terlebih dulu.

“Integrasi pengelolaan hutan sangat penting karena tidak cukup hanya aspek tertentu saja yang diperhatikan. Pengelolaan hutan tidak hanya melibatkan kawasan hutan, akan tetapi juga aspek sosial, ekonomi dan politik,” jelas dosen Fakultas Kehutanan dan Lingkungan (Fahutan) IPB University ini.

“Mau tidak mau sebenarnya perspektif yang berbeda-beda itu memerlukan sebuah dapur tertentu untuk memastikan bagaimana porsi racikan itu pas,” katanya dalam diskusi Forest Digest berjudul ‘Integrasi Pengelolaan Hutan dan Lingkungan: Bisakah menjawab tantangan krisis iklim?’ di IPB International Convention Center (IICC), Bogor, belum lama ini.

Menurut Prof Hariadi, pengelolaan hutan tidak bersifat spesifik karena memiliki multiplier effect. Pengendalian dampak dan sumber dayanya memerlukan kerjasama dari berbagai pihak.

“Pelaksanaannya tidak mudah, karena solusi, mindset dan kondisi pemerintahan kita memiliki peran masing-masing. Padahal kenyataannya di lapangan, kita harus melihat itu secara keseluruhan (komprehensif),” lanjutnya.

Ia menambahkan, setiap wilayah hutan di Indonesia dan keberadaannya di masing-masing wilayah memiliki karakteristik penting dan khusus sehingga tidak dapat digeneralisasikan. Setiap hutan memiliki situasi yang berbeda-beda, sehingga perencanaan pembangunan hutan harus dibangun sesuai kebutuhan di wilayah tersebut.

“Kita harus bisa melihat bukti empiris terlebih dulu, baru disusul dengan penyusunan kebijakannya. Sebaiknya pemerintah perlu melihat karakteristik hutan, aspek sosial budaya, politik yang relevan dengan masing-masing wilayah,” tegasnya.

Ia menjelaskan, terdapat rumus umum dalam konteks integrasi pengelolaan hutan yaitu situation, structure, behavior dan performance (SSBP). Penyusunan kebijakan pengelolaan hutan tersebut didasarkan pada analisis SSBP. Integrasi kebijakan perlu didasarkan terhadap situasi masing-masing kawasan hutan dan bentuk integrasinya akan menyesuaikan dengan kondisi alam yang tidak berubah. (MW/Rz)

Sumber: https://ipb.ac.id/news/index/2023/04/prof-hariadi-kartodihardjo-integrasi-pengelolaan-hutan-harus-berbasis-empirical-evidence-baru-kebijakan-bukan-sebaliknya/d7e3762e3030e8b88f7b60832e47078c

03 Apr 2023

Minat Perempuan Masuk Fakultas Kehutanan Naik

Mahasiswa perempuan di Fakultas Kehutanan terus naik. Memberikan harapan pemulihan hutan di era krisis iklim.


FAKULTAS Kehutanan identik dengan laki-laki. Sejak didirikan pada 1963, sebagai fakultas kelima di IPB University, mahasiswa perempuan menjadi minoritas di Fakultas Kehutanan. “Zaman saya jumlah perempuan hanya 10 persen,” kata Naresworo Nugroho, Dekan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB. 

Naresoworo masuk ke IPB tahun 1983 atau angkatan 20. Di IPB para mahasiswa saling mengidentifikasi dengan nomor angkatan yang dihitung dari tahun IPB berdiri. Saat ini, mahasiswa paling muda adalah angkatan 59 atau tahun masuk 2022.

alam Ngolak atau Ngobrol Asik Menjelang Berbuka edisi perdana pada 31 Maret 2023 dengan tema “Masa Depan Rimbawan di Era Krisis Iklim”, Naresworo bercerita semakin banyak jumlah mahasiswa perempuan di Fakultas Kehutanan IPB. Jika merujuk data base mahasiswa Fakultas Kehutanan 2023 lima tahun terakhir, jumlah perempuan hanya menyusut di tahun 2019 atau angkatan 56.

Dari 329 mahasiswa, perempuan 162 dan laki-laki 167. Selebihnya, jumlah perempuan selalu lebih banyak. Terbanyak tahun 2020 sebanyak 227 dari 400 mahasiswa. “Ini perkembangan menggembirakan,” kata Naresworo.

Tidak hanya karena kesetaraan gender yang semakin meningkat, perempuan yang meminati Fakultas Kehutanan menunjukkan perubahan paradigma di kalangan generasi muda. Apalagi, kata Naresworo, perempuan yang masuk Fakultas Kehutanan umumnya masuk jurusan konservasi.

Ada empat program studi di Fakultas Kehutanan: manajemen hutan, teknologi hasil hutan, konservasi dan ekowisata, serta silvikultur. Menurut Naresworo, konservasi dan silvikultur paling banyak peminatnya dari tahun ke tahun. “Sekitar 60 persen mahasiswanya adalah perempuan,” kata dia.

Minat yang tinggi terhadap konservasi juga sejalan dengan perubahan mata ajaran di Fakultas Kehutanan. Karena itu sejak dua tahun lalu, fakultas ini berubah nama menjadi Fakultas Kehutanan dan Lingkungan. Menurut Naresworo, ilmu lingkungan diserap ke seluruh mata kuliah di empat program studi tadi.

Perubahan nama itu, kata Naresworo, sejalan dengan perkembangan zaman, yakni krisis iklim. Pelbagai mitigasi memerlukan integrasi ilmu kehutanan dan lingkungan. Kini, kata Naresworo, paradigma ilmu kehutanan tak semata memanen kayu, tapi menebalkan ihwal perlindungan dalam konsep kehutanan yang lestari.

Di masa krisis iklim hutan tak lagi dipandang semata kayu, melainkan ekosistem yang di dalamnya terkandung keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan yang tak tepermanai. Fakultas Kehutanan IPB pernah menghitung, jika hutan hanya dilihat kayunya saja, nilainya hanya Rp 400 per meter persegi per tahun. Nilai itu akan berkali-kali lipat jika memasukkan nilai terlihat dan tak terlihat lain seperti udara, air, hasil hutan bukan kayu.

Menurut Naresworo bertambahnya mahasiswa yang meminati ilmu konservasi menjadi kian relevan dengan program pemerintah dalam mitigasi krisis iklim. Ia menyebut program utama sektor kehutanan berupa FOLU net sink atau penyerapan emisi karbon dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan.

Dalam dokumen nationally determined contribution (NDC) yang diajukan ke PBB, pemerintah menargetkan sektor kehutanan menyerap 17,4% emisi karbon nasional sebesar 2,87 miliar ton setara CO2. Untuk mencapainya, ada banyak program pemulihan hutan agar menyerap lebih banyak emisi gas rumah kaca penyebab krisis iklim. 

Indonesia memiliki kawasan hutan 120,5 juta hektare. Dari jumlah itu sekitar 35 juta hektare tak lagi memiliki tutupan hutan akibat pengelolaan hutan tak lestari dalam periode 1970-2000, di masa ketika lulusan Fakultas Kehutanan didominasi laki-laki.

Karena itu minat mahasiswa perempuan yang naik terhadap konservasi memberikan harapan pemulihan hutan dalam FOLU net sink 2030 bisa tercapai. Sebuah studi Universitas Oregon menyimpulkan pejabat publik dan anggota parlemen yang didominasi perempuan cenderung menghasilkan kebijakan yang ramah lingkungan. 

Saat ini, kata Naresworo, memulihkan hutan juga memberikan nilai ekonomi melalui perdagangan karbon. Penyerapan karbon dari pemulihan hutan bisa dijual kepada mereka yang masih memproduksi emisi gas rumah kaca untuk menghidupkan ekonomi dan pembangunan.

Sumber: https://www.forestdigest.com/detail/2205/fakultas-kehutanan-ipb