Mahasiswa perempuan di Fakultas Kehutanan terus naik. Memberikan harapan pemulihan hutan di era krisis iklim.


FAKULTAS Kehutanan identik dengan laki-laki. Sejak didirikan pada 1963, sebagai fakultas kelima di IPB University, mahasiswa perempuan menjadi minoritas di Fakultas Kehutanan. “Zaman saya jumlah perempuan hanya 10 persen,” kata Naresworo Nugroho, Dekan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB. 

Naresoworo masuk ke IPB tahun 1983 atau angkatan 20. Di IPB para mahasiswa saling mengidentifikasi dengan nomor angkatan yang dihitung dari tahun IPB berdiri. Saat ini, mahasiswa paling muda adalah angkatan 59 atau tahun masuk 2022.

alam Ngolak atau Ngobrol Asik Menjelang Berbuka edisi perdana pada 31 Maret 2023 dengan tema “Masa Depan Rimbawan di Era Krisis Iklim”, Naresworo bercerita semakin banyak jumlah mahasiswa perempuan di Fakultas Kehutanan IPB. Jika merujuk data base mahasiswa Fakultas Kehutanan 2023 lima tahun terakhir, jumlah perempuan hanya menyusut di tahun 2019 atau angkatan 56.

Dari 329 mahasiswa, perempuan 162 dan laki-laki 167. Selebihnya, jumlah perempuan selalu lebih banyak. Terbanyak tahun 2020 sebanyak 227 dari 400 mahasiswa. “Ini perkembangan menggembirakan,” kata Naresworo.

Tidak hanya karena kesetaraan gender yang semakin meningkat, perempuan yang meminati Fakultas Kehutanan menunjukkan perubahan paradigma di kalangan generasi muda. Apalagi, kata Naresworo, perempuan yang masuk Fakultas Kehutanan umumnya masuk jurusan konservasi.

Ada empat program studi di Fakultas Kehutanan: manajemen hutan, teknologi hasil hutan, konservasi dan ekowisata, serta silvikultur. Menurut Naresworo, konservasi dan silvikultur paling banyak peminatnya dari tahun ke tahun. “Sekitar 60 persen mahasiswanya adalah perempuan,” kata dia.

Minat yang tinggi terhadap konservasi juga sejalan dengan perubahan mata ajaran di Fakultas Kehutanan. Karena itu sejak dua tahun lalu, fakultas ini berubah nama menjadi Fakultas Kehutanan dan Lingkungan. Menurut Naresworo, ilmu lingkungan diserap ke seluruh mata kuliah di empat program studi tadi.

Perubahan nama itu, kata Naresworo, sejalan dengan perkembangan zaman, yakni krisis iklim. Pelbagai mitigasi memerlukan integrasi ilmu kehutanan dan lingkungan. Kini, kata Naresworo, paradigma ilmu kehutanan tak semata memanen kayu, tapi menebalkan ihwal perlindungan dalam konsep kehutanan yang lestari.

Di masa krisis iklim hutan tak lagi dipandang semata kayu, melainkan ekosistem yang di dalamnya terkandung keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan yang tak tepermanai. Fakultas Kehutanan IPB pernah menghitung, jika hutan hanya dilihat kayunya saja, nilainya hanya Rp 400 per meter persegi per tahun. Nilai itu akan berkali-kali lipat jika memasukkan nilai terlihat dan tak terlihat lain seperti udara, air, hasil hutan bukan kayu.

Menurut Naresworo bertambahnya mahasiswa yang meminati ilmu konservasi menjadi kian relevan dengan program pemerintah dalam mitigasi krisis iklim. Ia menyebut program utama sektor kehutanan berupa FOLU net sink atau penyerapan emisi karbon dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan.

Dalam dokumen nationally determined contribution (NDC) yang diajukan ke PBB, pemerintah menargetkan sektor kehutanan menyerap 17,4% emisi karbon nasional sebesar 2,87 miliar ton setara CO2. Untuk mencapainya, ada banyak program pemulihan hutan agar menyerap lebih banyak emisi gas rumah kaca penyebab krisis iklim. 

Indonesia memiliki kawasan hutan 120,5 juta hektare. Dari jumlah itu sekitar 35 juta hektare tak lagi memiliki tutupan hutan akibat pengelolaan hutan tak lestari dalam periode 1970-2000, di masa ketika lulusan Fakultas Kehutanan didominasi laki-laki.

Karena itu minat mahasiswa perempuan yang naik terhadap konservasi memberikan harapan pemulihan hutan dalam FOLU net sink 2030 bisa tercapai. Sebuah studi Universitas Oregon menyimpulkan pejabat publik dan anggota parlemen yang didominasi perempuan cenderung menghasilkan kebijakan yang ramah lingkungan. 

Saat ini, kata Naresworo, memulihkan hutan juga memberikan nilai ekonomi melalui perdagangan karbon. Penyerapan karbon dari pemulihan hutan bisa dijual kepada mereka yang masih memproduksi emisi gas rumah kaca untuk menghidupkan ekonomi dan pembangunan.

Sumber: https://www.forestdigest.com/detail/2205/fakultas-kehutanan-ipb