Fakultas Kehutanan dan Lingkungan

0251- 8621677

fahutan@apps.ipb.ac.id

Jalan Ulin, Kampus IPB Dramaga Bogor Jawa Barat 16680
31 May 2022

Guru Besar IPB University: Kebakaran Lahan Gambut 100 Persen Akibat Ulah Manusia

Prof Lailan Syaufina, Guru Besar Tetap pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University mengatakan bahwa Kebakaran Hutan (Karhutla) itu 99 persen akibat ulah manusia dan 1 persen karena faktor alam.

Dalam Konferensi Pers Pra Orasi Ilmiah, (24/3) dengan materi berjudul Era Baru Pengendalian Kebakaran Lahan Gambut: Inovasi Tekno-Sosio Mitigasi Karhutla, Prof Lailan mengungkapkan beberapa fakta.
“Khusus Karhutla gambut, 100 persen oleh manusia. Mitigasi untuk faktor alam, lebih ditekankan pada pengurangan risiko Karhutla. Tapi yang paling penting adalah mencegah Karhutla oleh manusia,” ujarnya. 

Menurutnya, mitigasi Karhutla ini harus melalui pendekatan sosial, termasuk mencari solusi bagi perambah hutan. Dalam hal ini, penegakan hukum untuk perambahan hutan dapat dilakukan. Selain itu, perlu upaya pemberdayaan para perambah hutan dalam pengelolaan hutan/lahan gambut.

“Selain itu, dalam dua tahun terakhir (2020-2021), luas kebakaran hutan dan lahan di Indonesia menurun tajam. Diperkirakan karena adanya pandemi COVID 19 berpengaruh pada penurunan ini. Hal ini didukung dengan penguatan upaya pencegahan Karhutla yang menjadi prioritas kebijakan Pemerintah Indonesia,” ujarnya.

Ia menjelaskan, berbeda dengan kebakaran lahan non gambut, kebakaran lahan gambut sulit dideteksi dan dipadamkan, karena api menjalar di bawah permukaan.  Dampak kebakaran lahan gambut yang paling signifikan adalah dampak emisi dan kabut asap.  

“Emisi karbon dan emisi partikel kebakaran lahan gambut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kebakaran lahan non gambut. Ini karena kebakaran lahan gambut didominasi oleh fase smoldering yang tidak sempurna, sehingga menghasilkan emisi partikel yang tinggi yang bersatu dengan uap air hasil pembakaran yang menyebabkan kabut asap,” jelasnya. 

Menurutnya, belajar dari kejadian Karhutla pada tahun 2015, Pemerintah Indonesia telah melakukan perubahan paradigma dalam pengendaliannya. Saat ini prioritas pengendalian Karhutla adalah pada pencegahan. 

“Untuk membantu pemerintah dalam upaya pencegahan Karhutla, Tim Riset IPB University telah mengembangkan beberapa inovasi. Antara lain menciptakan sistem yang mampu memprediksi Karhutla gambut dalam waktu dua bulan sebelum terjadi kebakaran. Membuat Peta Kerawanan Karhutla. Peta ini memasukkan unsur gambut dan mengklasifikasikannya dalam empat tipologi,” jelasnya.

Prof Lailan dan tim juga membuat kriteria hotspot sebagai indikator kuat Karhutla, membuat formulasi tingkat keparahan Karhutla, membuat aplikasi mobile dan web Sistem Informasi Patroli Pencegahan Karhutla (SIPP Karhutla), penggunaan IoT (Internet of Things) dalam monitoring lahan gambut untuk dimanfaatkan dalam sistem peringatan dini Karhutla.

Di samping itu, lanjutnya, untuk pendekatan sosial, ada beberapa program yang sudah diimplementasikan. Seperti pembentukan MPA (Masyarakat Peduli Api), Program Desa Mandiri Peduli Gambut, Program Desa Bebas Asap, Program Desa Makmur Bebas Api dan sebagainya. 

“Integrasi antara pendekatan teknologi dan pendekatan sosial dapat dirumuskan sebagai Konsep NO SMOKE (Inovasi Tekno-Sosio Mitigasi Karhutla),” tandasnya. (Zul)

Published Date : 19-May-2022

Resource Person : Prof Prijanto Pamoengkas

Keyword : IPB University, Silvikultur, Guru Besar IPB, Fahutan IPB

SDG : SDG 4 – QUALITY EDUCATION, SDG 9 – INDUSTRY, INNOVATION AND INFRASTRUCTURE, SDG 15 LIFE ON LAND

20 May 2022

Prof Prijanto Pamoengkas: Silvikulturis Harus Menyikapi Perubahan Vegetasi dan Fokus pada Nilai Hutan yang Berbeda

Pengelola hutan saat ini perlu memahami adanya perubahan vegetasi yang terjadi dan fokus pada nilai hutan yang berbeda. Silvikulturis harus menyikapi perkembangan ini dan menanggapi cepatnya perubahan ekspektasi dan pergeseran paradigma global dalam cara memandang hutan.  Hal ini disampaikan oleh Prof Prijanto Pamoengkas, Guru Besar IPB University dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan (Fahutan) dalam Konferensi Pers Pra Orasi Ilmiah, (19/5). 

Menurutnya, sejak diberlakukan sistem silvikultur tebang pilih dalam pemanfaatan hutan alam, sistem silvikultur tersebut telah mengalami tiga kali penyempurnaan. Yaitu tahun 1989, 1993 dan 2009. Hingga saat ini di Indonesia berlaku empat sistem silvikultur untuk mengelola hutan alam produksi. Yaitu Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ), Tebang Rumpang (TR), dan Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI) (Kementerian LHK 2021).  
 
“Sistem tebang pilih dengan limit diameter ini hanya akan berhasil jika distribusi ukuran pohon dan permudaan cukup banyak. Apalagi jika penebangan dilaksanakan dengan pengawasan yang sangat ketat. Pada dasarnya sistem TPTI merupakan pemanfaatan dari proses ekologis hutan tidak seumur, mulai dari tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon yang terjadi pada areal bekas tebangan menuju terbentuknya tegakan yang seimbang. Percepatan terhadap suksesi pertumbuhan ini terletak pada komposisi tegakan tinggalnya dan tindakan silvikulturnya,” ujarnya.
 
Menurutnya, sistem silvikultur dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan yang terdiri atas regenerasi (permudaan), pemeliharaan dan pemungutan hasil yang dilaksanakan secara sistematis pada suatu tegakan sepanjang siklus hidupnya. Selanjutnya, ketiga komponen tersebut dijadikan sebagai komponen kegiatan yang harus ada dalam penerapan sistem silvikultur. Tebang pilih dapat menjurus pada penggundulan hutan saja kalau ketiga komponen silvikultur tersebut tidak diterapkan secara utuh. Kalau ada salah satu komponen yang tidak diterapkan, maka hal itu tidak dapat dikatakan sebagai suatu tindakan sistem silvikultur. Dengan kata lain pengelola hutan tidak sedang menerapkan sistem silvikultur.
 
”Oleh karena itu ada tuntutan untuk menghadirkan sistem silvikultur hutan alam yang adaptif dari aspek ekologis dan sesuai dengan karakteristik hutannya,” ujarnya.  Menurutnya, ada empat faktor yang harus dipertimbangan dalam pemilihan sistem silvikultur hutan alam. Yaitu peraturan atau ketentuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait dengan pemilihan sistem silvikultur. Syarat pelaksanaan dari masing-masing sistem silvikultur. Kondisi ekologi areal hutan, terdiri dari tipe hutan, komposisi jenis, struktur tegakan, potensi tegakan dan keadaan permudaan alam. Dan kondisi fisik areal hutan, terdiri dari jenis tanah, kelerengan, ketinggian dari permukaan laut (altitude) dan iklim.
 
Dalam konteks pengelolaan hutan alam produksi, lanjutnya, maka keragaman adaptasi dari jenis yang bernilai komersial i dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam pengembangan sistem silvikultur. Sebagai arahan dalam pengembangan sistem silvikultur tersebut.
 
“Dari hasil kajian inventarisasi hutan pada suatu areal hutan, ada tiga komponen penting yakni komunitas hutan yang berdasarkan kedekatan komposisi jenis penyusun tegakan, kemiripan antara komposisi jenis yang menyusun tegakan pada level kanopi (tingkat tiang atau pohon) dengan jenis pada level permudaan tingkat semai atau pancang. Dan bentuk sebaran atau distribusi diameter pohon yang menggambarkan status resources,” imbuhnya.
 
Ia menambahkan, salah satu hal penting dalam praktik pengelolaan hutan alam produksi adalah keberhasilan dalam menerapkan sistem silvikultur yang adaptif terhadap kondisi ekologis dan menguntungkan secara ekonomis.
 
“Selama ini konsekuensi ekologis dari permudaan alam yang berkembang pada areal hutan bekas tebangan belum banyak mendapatkan perhatian dari pengambil kebijakan. Padahal kondisi tersebut menjadi pertimbangan utama dalam menetapkan sistem silvikultur,” tandasnya. (Zul)

Published Date : 19-May-2022

Resource Person : Prof Prijanto Pamoengkas

Keyword : PB University, Silvikultur, Guru Besar IPB, Fahutan IPB

SDG : SDG 4 – QUALITY EDUCATION, SDG 9 – INDUSTRY, INNOVATION AND INFRASTRUCTURE, SDG 15 LIFE ON LAND

20 May 2022

Orasi Ilmiah Guru Besar 21 Mei 2022

Sidang Terbuka Institut Pertanian Bogor dengan acara khusus Orasi Ilmiah Guru Besar pada Sabtu, 21 Mei 2022 menghadirkan tiga guru besar dengan masing-masing judul orasi yang akan disampaikan sebagai berikut:

Prof. Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc.
GURU BESAR TETAP FAKULTAS PERTANIAN
“Riset Aksi Holosentrik untuk Mengatasi Ledakan Hama”

Prof. Dr. Ir. Iriani Setyaningsih, M.S.
GURU BESAR TETAP FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
“Peran Bioteknologi Mikroalga dalam Bidang Pangan, Kesehatan, dan Energi: Peluang dan Tantangan’’

Prof. Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, M.Sc.F.Trop.
GURU BESAR TETAP FAKULTAS KEHUTANAN DAN LINGKUNGAN
“Penerapan Pengetahuan Pemulihan Vegetasi dalam Pengembangan Sistem Silvikultur Hutan Alam”

19 May 2022

Kuliah Pembekalan Kuliah Kerja Nyata Tematik (KKNT) 2022

[Kuliah Pembekalan KKNT]

Kuliah Pembekalan KKNT Tingkat Fakultas yang akan dilaksanakan pada:

Hari, tanggal: Sabtu, 21 Mei 2022
Pukul: 08.00-15.00 WIB
Platform: Zoom Meeting & Youtube

Link Zoom: ipb.link/kuliahkknt2022

Link Youtube: ipb.link/livekknt2022

Narasumber:
1. Dr. Adjat Sudrajat (Materi I : Ekowisata)
2. Ir. Andi Rohman Kurniadi, MM (Materi II : Metode Pemetaan Potensi Desa)
3. Dr. Soni Trison, S.Hut, M.Si (Materi III: Penulisan Artikel Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat)
4. Dr. Supriyanto (Materi IV: Bioenzim)
5. Dr. drh. Sri Murtini, M.Si. Materi V: Penyakit Kuku dan Mulut)

Moderator: Ati Dwi Nurhayati, S.Hut, M.Si(Dosen DSVK, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB)

Terima kasih.