Hutan hujan tropis di dunia hanya ada di tiga wilayah di dunia. Yakni Amerika Selatan (sekitar 400 juta hektar/ha) berpusat di lembah Sungai Amazon, Brazil, Indonesia dan Malaysia (sekitar 250 juta ha) dan di Afrika Barat (180 juta ha) lembah Sungai Congo sampai Teluk Guyana. 

Hutan hujan tropis merupakan ekosistem klimaks, terdapat setengah spesies flora dan fauna di seluruh dunia. Hutan hujan tropis juga dijuluki sebagai “farmasi terbesar di dunia” karena hampir 1/4 obat modern berasal dari tumbuhan di hutan hujan tropis, penyangga jasa lingkungan terbaik (fungsi tata air/hidroorologis, menyerap karbon dan menghasilkan oksigen) dan menyimpan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi.

“Berdasarkan hasil paduserasi Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) pada tahun 1999, diperkirakan hutan alam yang terdegradasi mencapai 50 juta ha. Kerusakan hutan sebagian besar karena kegiatan pembalakan liar dan telah menyebabkan kerugian negara dan lingkungan yang sangat besar,” jelas Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, Prof Basuki Wasis saat Konferensi Pers Pra Orasi Ilmiah, (24/11). 

Ia menjelasakan, hasil penafsiran citra satelit menunjukkan laju perusakan hutan alam tahun 1985 – 1997 tercatat 1,6 juta ha/tahun, tahun 1997 – 2000 tercatat 2,8 juta ha/tahun. Dan tahun 2000 – 2003 semakin tidak terkendali. 

“Akibatnya, secara materi telah menyebabkan kerugian negara sekitar Rp 30.000 triliun. Sungguh sangat ironis, negara Indonesia yang memiliki sumberdaya alam yang demikian kaya namun pada kenyataannya negara dan rakyatnya banyak yang miskin,” imbuhnya.

Disamping itu, tambahnya, telah terjadi kerusakan lingkungan yang menyebabkan terjadinya bencana banjir, kekeringan, kebakaran, munculnya hama dan penyakit, pemanasan global, tanah longsor dan erosi. Akibatnya, rakyat Indonesia semakin sengsara.

Ia menjelaskan, untuk  mengatasi itu pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden RI Nomor 4 tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Diinstruksikan bahwa semua aparat penegak hukum perlu melakukan percepatan pemberantasan penebangan secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Sementara itu, lanjutnya, kehadiran ahli dan saksi bisa menjadi kunci dalam proses penegakan hukum pembalakan liar dan lingkungan hidup. Para saksi ahli ini dapat mengukur dampak pembalakan liar melalui proses verifikasi atau investigasi.
Menurutnya, hal ini penting karena kerugian atau dampak pencemaranan dan kerusakan lingkungan itu bersifat lintas waktu, lintas generasi, lintas dunia dan bersifat global (dunia). Dengan demikian keterangan ahli berupa bukti ilmiah (scientific evidence) kemudian berproses menjadi bukti hukum.

“Namun, sering terjadi kriminalisasi berupa laporan pidana dan atau gugatan perdata kepada saksi dan ahli. Ini akan membahayakan penegakan hukum lingkungan dan pegiat lingkungan hidup lainnya. Para pelaku teror hukum harus diberikan sangsi hukum yang berat,” ujarnya.

Ia menambahkan, ke depan para pelaku teror hukum harus diberikan sangsi hukum yang berat dan didenda yang besar. Sehingga penegakan hukum kerusakan hutan dan lingkungan dapat berjalan secara baik dan tanpa dihantui rasa takut dan cemas. (Zul)

Published Date : 25-Nov-2022

Resource Person : Prof Basuki Wasis

Keyword : IPB University, Pembakaran Liar, Guru Besar