Kebakaran Lahan Gambut Menyumbang Lebih dari Upaya Konkrit Pencegahan dalam Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Harus Libatkan Masyarakat

Salah satu sumber emisi gas rumah kaca terbesar di Indonesia bersumber dari kebakaran hutan, khususnya lahan gambut sebesar 50.13 persen. Bahkan emisi yang ditimbulkan lebih besar daripada emisi yang bersumber dari penggunaan energi. 

Isu tersebut telah disampaikan oleh Prof Bambang Hero Saharjo, Guru Besar Perlindungan Hutan, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University sebagai salah satu narasumber dalam penyelenggaraan Konvensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) COP 27, November 2022 lalu . Ia menjelaskan pengendalian kebakaran hutan dan lahan gambut menjadi sangat penting dilakukan karena selalu dipertanyakan di setiap pertemuan internasional. 
“Kita jangan sekedar melihat penurunan luas kebakaran yang terjadi, namun peningkatan emisi gas rumah kaca di beberapa provinsi juga harus diperhatikan,” ujarnya.

Menurutnya, masyarakat dan pemerintah harus sadar bahwa kebakaran hutan dapat muncul kapan saja dan tidak menunggu apakah kita siap atau tidak dalam menghadapinya. Ia mengungkapkan bahwa di akhir Desember 2022 dan awal Januari 2023, meskipun masih banyak daerah yang sering hujan, namun terdapat kasus kebakaran di beberapa lokasi. Kebakaran terjadi di Sumatera maupun di Kalimantan bahkan ada yang menghanguskan hingga lebih dari 25 hektar lahan. 

“Seharusnya kita tidak selalu menyalahkan El-Nino saat kebakaran terjadi. Sementara saat La-Nina terjadi kita tidak pernah menyatakan bahwa kebakaran yang berkurang itu adalah karena La-Nina. BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) telah mengingatkan bahwa La Nina Yang terjadi selama 3 tahun (2020, 2021, dan 2022) sudah berakhir dan akan bergeser menjadi El Nino dalam kurun waktu mendatang,” jelasnya.

Ia mengatakan, pengendalian kebakaran bersifat wajib. Bukan dilatarbelakangi oleh adanya El-Nino atau tidak. Kegiatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, meliputi tiga kegiatan pokok, yaitu pencegahan, pemadaman, dan penanganan pasca kebakaran. 

Pemadaman kebakaran, menurutnya, merupakan keberhasilan semu karena emisi sudah dilepaskan ke atmosfer. Api juga sudah sebagian besar melalap hutan, termasuk lahan gambut. Bahkan bukan tidak mungkin bahwa percepatan subsiden atau turunnya permukaan tanah gambut akan terjadi dengan cepat karena lahan bekas terbakar tidak segera direstorasi. 

“Bila pencegahan kebakaran hutan sudah dirancang sejak awal secara terencana dan sistematis, maka sesungguhnya persoalan-persoalan itu dapat dikendalikan,” pungkas Prof Bambang.  Ia menjelaskan, masyarakat harus dilibatkan sebagai partner bukan sebagai sparing partner. Berdasarkan hasil kajian dan riset yang telah ia lakukan, bila kelompok masyarakat diajak bersama dalam pengendalian kebakaran sejak awal, maka dapat memberikan implikasi positif. 

“Penanganan pasca kebakaran juga harus dibarengi dengan penegakan hukum yang dikaitkan dengan upaya pemulihan. Penegakan hukum dapat diterapkan melalui sanksi administratif, pidana, maupun perdata. Pelaku kebakaran harus bertanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan sebagai konsekuensi hukum,” tuturnya.

Ia menerangkan bahwa ia telah lama bekerja sama dengan beberapa perguruan tinggi USA untuk kerjasama penelitian yang didanai oleh NASA. Riset tersebut terkait dengan emisi gas yang dihasilkan selama kebakaran, khususnya kebakaran gambut melalui pengambilan asap kebakaran gambut. Hasil yang sudah terpublikasi di Jurnal Internasional Q1. 

“Riset ini mengungkapkan bahwa asap kebakaran mengandung sekitar 50 persen gas beracun. Gas tersebut sangat berdampak negatif terhadap kesehatan dan keselamatan manusia,” imbuhnya. 

Penelitian tersebut, katanya, dilakukan di wilayah Kalimantan dan Sumatera. Salah satu gas beracun ini adalah gas furan yang bisa dihisap oleh ibu yang sedang hamil dan dapat mengakibatkan cacat bagi bayi yang akan dilahirkan. Ada juga gas hidrogen sianida yang mematikan.

“Upaya pencegahan kebakaran tidak sekedar dengan mengendalikan dampak negatif yang ditimbulkan tetapi harus turut menjadi pertimbangan setiap stakeholder dan harus sepakat bahwa kejadian ini adalah bentuk kejahatan luar biasa (extra ordinary crime),” tegasnya.

Ia menilai perlu adanya upaya upgrade dari aspek pencegahan dalam pengendalian kebakaran. Upaya ini dapat dibantu oleh ahli dengan bantuan teknologi terkini di antaranya satelit. Dengan begitu, upaya deteksi dan prediksi kebakaran hutan dan lahan dapat dilakukan secara lebih presisi.

Menurutnya, pengembangan teknologi pencegahan kebakaran hutan dalam upaya penegakan hukum kasus kebakaran hutan dan lahan juga merupakan pertanggungjawaban moral sebagai akademisi.

“Selain itu, akademisi juga, harus bersedia bila diminta sebagai ahli di persidangan sebagai bentuk kontribusi terhadap penegakan hukum kebakaran hutan dan lahan gambut. Hal ini dalam rangka menciptakan lingkungan hidup yang lebih baik sebagai hak konstitusi setiap warga negara,” ujarnya.(MW)

Published Date : 20-Jan-2023

Resource Person : Prof Bambang Hero Saharjo

Keyword : Pakar IPB University, Guru Besar IPB University, kebakaran hutan, lingkungan, kehutanan

SDG : SDG 5 – GENDER EQUALITY, SDG 10 – REDUCED INEQUALITIES, SDG 11 SUSTAINABLE CITIES AND COMMUNITIES

Sumber: https://ipb.ac.id/news/index/2023/01/guru-besar-ipb-university-kebakaran-lahan-gambut-menyumbang-lebih-dari-upaya-konkrit-pencegahan-dalam-pengendalian-kebakaran-hutan-dan-lahan-harus-libatkan-masyarakat/091bf4af383957f63ae494b6b07a5695