Pakar IPB University: Dari 15 Spesies Tarsius di Dunia, 14 Ada di Indonesia

Pakar IPB University: Dari 15 Spesies Tarsius di Dunia, 14 Ada di Indonesia

Indonesia memiliki kekayaan hayati yang luar biasa, termasuk dalam hal primata. Salah satu kekayaan tersebut adalah tarsius, primata terkecil di dunia yang sebagian besar hanya ditemukan di Indonesia. 

Pakar Ekologi Satwa Liar IPB University, Dr Abdul Haris Mustari, mengatakan bahwa Indonesia merupakan pusat biodiversitas tarsius dunia. Menurutnya, konservasi habitat alami tarsius menjadi kunci utama menjaga kelestarian spesies langka ini.

“Dari lima belas spesies tarsius di dunia, empat belas berada di Indonesia, dan tiga belas di antaranya ditemukan di Sulawesi. Ini artinya, Sulawesi adalah pusat keanekaragaman hayati tarsius global,” ungkap dosen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata ini.

Tarsius dikenal sebagai primata nokturnal dengan berat badan hanya 50–100 gram, mata besar tidak proporsional dibandingkan ukuran tubuhnya, serta kemampuan memutar kepala hingga 180 derajat.

Secara biologis dan perilaku, tarsius hidup secara monogami dalam kelompok kecil, biasanya hanya terdiri dari induk jantan dan betina serta anak-anaknya. Habitat alaminya mencakup hutan sekunder, rumpun bambu, hingga kebun di sekitar rumah yang berdekatan dengan hutan.

Saat ini, ancaman terhadap populasi tarsius semakin nyata. Deforestasi akibat pertambangan, kebakaran hutan, dan alih fungsi lahan menjadi penyebab utama menurunnya habitat alami spesies ini. “Deforestasi berarti mengubah hutan menjadi bukan hutan. Ditambah fragmentasi hutan akibat aktivitas manusia membuat habitat tarsius terpecah dan tidak utuh,” jelasnya.

Menurut Dr Haris, pendekatan konservasi yang selama ini dilakukan belum cukup fokus pada spesies seperti tarsius. Kebijakan pemerintah lebih banyak mengarah pada pengelolaan ekosistem secara umum, bukan pendekatan berbasis spesies kunci. Hal ini membuat upaya konservasi tarsius kurang optimal.

Terkait dengan penangkaran, ia menilai metode ini belum terbukti efektif bagi tarsius. Beberapa upaya penangkaran yang dilakukan, seperti di Sulawesi Selatan, belum menunjukkan hasil yang diharapkan.

“Tarsius sulit hidup di kandang. Mereka lebih cocok hidup di alam karena makanannya sangat variatif dan perilaku bertahan hidupnya diajarkan oleh induknya secara alami,” ungkapnya.

Dr Haris menilai bahwa konservasi in-situ, yakni menjaga habitat asli merupakan cara paling efektif dan efisien dalam melindungi tarsius dan satwa lainnya. “Kalau habitatnya dilindungi, bukan hanya tarsius yang terlindungi, tapi juga anoa, babi rusa, monyet hitam Sulawesi, bahkan keanekaragaman tumbuhan, air, dan udara,” ujarnya.

Kendati demikian, perkembangan ilmu taksonomi telah memperlihatkan bahwa jumlah spesies tarsius bisa terus bertambah. Ini bukan karena spesiasi baru dalam waktu singkat, melainkan karena kemajuan dalam analisis DNA molekuler yang mampu membedakan populasi berdasarkan wilayah geografi.

“Dulu Sulawesi dianggap hanya punya satu spesies, sekarang terbukti berbeda-beda antara Sulawesi Utara, Tengah, Selatan, Tenggara, hingga Pulau Buton,” jelas Dr Haris.

Dalam pandangannya, yang paling mendesak saat ini adalah memperkuat perlindungan kawasan konservasi yang sudah ditetapkan pemerintah serta menyiapkan kebijakan berbasis spesies untuk satwa endemik seperti Tarsius.

“Lebih baik mengamankan rumahnya dulu sebelum memperbanyak populasinya. Kalau habitatnya sudah rusak, hasil penangkaran mau dilepas ke mana?” katanya.

Dr Haris juga mengatakan bahwa predator alami seperti burung elang atau ular piton bukanlah ancaman utama bagi keberlangsungan tarsius. “Yang paling berbahaya adalah manusia, lewat tambang, kebakaran, dan perkebunan sawit. Monokultur sawit telah menggantikan hutan-hutan di Sulawesi, menyebabkan hilangnya tempat tinggal tarsius,” tuturnya. (dr)

Sumber : https://www.ipb.ac.id/news/index/2025/07/pakar-ipb-university-dari-15-spesies-tarsius-di-dunia-14-ada-di-indonesia/